Contoh Makalah Perbandingan Puisi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra lahir sebagai bagian dari masyarakat, sebagai cermin dan
sekaligus miniatur dari budaya dan kehidupan sosial di masyarakat. Ratna (2013:33)
menjelaskan bahwa karya seni bersumber dalam masyarakat, dalam konfigurasi
status dan peranan yang terbentuk dalam struktur sosial, dan sendirinya
menerima pengaruh sosial.
Karya sastra lahir dalam sebuah masysarat sebagai bentuk komunikasi
pengarang dengan lingkungan sosialnya. Karya sastra merupakan cara berkomunikasi
yang khas yang dibuat sebagai bentuk seni dan memiliki makna yang ingin
disampaikan kepada masyarakat pembacanya.
Puisi merupakan salah satu genre sastra juga
merupakan alat komunikasi yang digunakan bagi pengarangnya untuk berkomunikasi
terhadap lingkungan masyarakatnya. Puisi yang terlahir pada zaman tertentu
selalu mencoba menggambarkan suasana dan kondisi masyarakatnya.
Puisi sebagai karya sastra tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya dan
konteks sosialnya, dan apabila dua pengarang yang berbeda mengarang puisi maka
karyanya juga memiliki hubungan baik pertentangan atau persamaan dalam memahami
dan menanggapi suata hal. Pertentangan atau persamaan ini akan mengasilkan
sebuah dialektika antra dua puisi yang berbeda, dari dua pengarang yang berbeda
pula. Riffaterre (Pradopo, 1995:167) menjelaskna bahwa sajak baru bermakna
penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan
dan pertentangan.
Hubungan pertentangan pada puisi Indonesia modern dapat terlihat pada
puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamjah dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Pertentangan kedua pengarang pada puisi-puisi
tersebut sangatlah menarik, kedua sama-sama memiliki tanggapan dan konsepsi
yang berbeda terhadap pengambaran wujud Tuhannya. Puisi- puisi Chairil Anwar
merupakan penentang terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisian sajak-sajak
Pujangga Baru dan sajak lama, yang tertampak jelas terwakili oleh sajak-sajak
Amir Hamzah. Sedangkan puisi-puisi Amir Hamzah adalah sajak-sajak yang sufistik
dan memiliki tradisi religius yang tinggi, sehingga sangat menarik bila
dibandingkan dengan puisi Chairil Anwar guna memperkaya makna dari kedua puisi
tersebut. Hal itulah yang
melatarbelakangi penulis untuk memaparkan hasil kajian perbandingan sastra yang berjudul Perbandingan
Puisi “Padamu jua” Karya Amir Hamjah Dengan Puisi “ Dosa” Karya Chairil Anwar
Dalam kajian Dialektika Tentang Konsepsi Tuhan
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah kosepsi Tuhan yang terkandung dalam
puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
2.
Bagaiamanakah hubungan persamaan antara puisi
“Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
3.
Bagaimanakah hubungan pertentangan antara puisi “Padamu
Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsepsi Tuhan yang terkandung dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa”
Karya Chairil Anwar.
2. Untuk mengetahui hubungan persamaan antara
puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar.
3. Untuk mengetahui hubungan pertentangan antara
puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar.
BAB II
Perbandingan Puisi “PADAMU JUA” Karya Amir
Hamjah
Dengan Puisi “ DOA” Karya Chairil Anwar
Dalam kajian Dialektika Tentang Konsepsi
Tuhan
1.
Metode
Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,
karena objek yang diteliti merupakan data kualitatif berupa teks verbal, dalam wacana yang
terkandung dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” karya
Chairil Anwar. Data dari penelitian ini diperoleh dari kedua teks puisi , yaitu
“Padamu Jua” dan “Doa”. Data itu bersumber dari teks “Padamu Jua” karya Amir
Hamzah dan teks puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Data itu berupa kata, kalimat,
ungkapan yang terdapat di dalam “Padamu Jua” dan “Doa”. Data tersebut merupakan
unsur-unsur pembentuk intertekstualitas dalam kedua puisi yang dikaji, dimana
dari kedua puisi tersebut bisa didapatkan unsur-unsur yang bisa dibandingkan
dan diambil persamaan dan pertentangannya dalam sebuah dialektika.
Analisis data menggunakan metode intertekstual dan metode perbandingan.
Dengan analisis intertekstual dapat terlihat hubungan intertekstual kedua puisi
tersebut, sehingga nantinya akan membantu mengetahui persamaan dan pertentangan kedua puisi
tersebut dari data hasil analisis intertekstual itu setelah melalui metode
perbandingan. Riffaterre (Pradopo, 1995:167) menjelaskna bahwa sajak baru
bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa
persamaan dan pertentangan.
Metode perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan unsur-unsur yang
ada dalam kedua puisi tersebut, sehingga mendapatkan karakteristik dan konvensi
masing-masing puisi,serta diketahui pula persamaan dan pertentangannya.
2.
Hasil
dan Pembahasan
2.1.Transformasi Puisi “Padamu Jua” dalam puisi “Doa”
Sebuah karya sastra lahir dalam sebuah masysarat sebagai bentuk
komunikasi pengarang dengan lingkungan sosialnya. Karya sastra merupakan cara
berkomunikasi yang khas yang dibuat sebagai bentuk seni dan memiliki makna yang
ingin disampaikan kepada masyarakat pembacanya.
Untuk mendapatkan makna sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh
dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial budayanya.
Dalam hubungan pembicaraan interkontekstualitas ini berkenaan dengn konteks
sejarah sastranya (Pradopo,1995:167).
Sebuah karya sastra yang dibuat oleh dua pengarang yang berbeda, baik
puisi maupun prosa ada kalanya memiliki hubungan satu sama lain baik
pertentangan atau persamaan, hal itu diakibatkan karena karya tersebut terlahir
pada zaman yang sama, di mana zaman dan konteks sosial budaya telah memberikan
pengaruh terhadap proses kreatif dari penciptaan karya sastra tersebut. Teeuw (Pradopo,1995:
167) mengatakan bahwa karya sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong
kebudayaan. Oleh karena itu, sastra tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya
dan konteks sosialnya, dan apabila dua pengarang yang berbeda mengarang puisi
atau prosa maka karyanya juga memiliki hubungan baik pertentangan atau
persamaan dalam memahami dan menanggapi suata hal.
Hubungan pertentangan pada puisi Indonesia modern dapat terlihat pada
puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamjah dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar.
Puisi Chairil Anwar merupakan penentang terhadap konvensi estetik dan tradisi
kepuisian sajak-sajak Pujangga Baru dan sajak lama, yang tertampak jelas
terwakili oleh sajak-sajak Amir Hamzah.
Di antara sastrawan-sastrawan
Pujangga Baru, nama Amir Hamzah tentu paling dikenal dalam bidang puisi. Hal
ini tidak lepas juga dari gelar yang telah dilekatkan padanya oleh Paus Sastra
Indonesia, H. B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Melihat salah satu
puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di atas, kita tidak bisa
melepaskannya dari ciri khas Amir Hamzah yang suka mengangkat tema-tema agama.
Kesukaannya dengan hal-hal berbau sufistik juga mengingatkan kita pada Hamzah
Fansuri, peletak dasar puisi modern di Indonesia.
Sedangkan Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra
setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru
berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian
(http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar ). Namun saat pertama kali
mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat,
banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai
dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia
Timur
Raya.
Padamu
Jua adalah puisi yang mengisahkan tentang pertemuan dua
orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku lirik dengan
kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi positif,
seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak juga digunakan
kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar,
lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk
memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, saya menafsirkan
pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah kematian aku
lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah Tuhan aku lirik yang selalu
mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.
PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali kepadamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Matahari bukan kawanku..
Karya Amir Hamzah (Nyanyian
Sunyi, 1959:5)
Puisi Doa memiliki kekuatan pesan religi yang cukup kental, lirik
liriknya secara jelas dan transparan, memberikan pesan spiritual kepada makhluk
tuhan untuk menjadikan Tuhan sebagai muara akhir segenap persoalan hidup.
Chairil Anwar menegaskan bahwa tak ada solusi lain dalam hidup ini selain
mengembalikan segala macam permasalahan kehidupan kepada sang pemilik kehidupan
itu sendiri.
Manusia kerap lelah dalam menjalani
hidup dengan segunung permasalahan, hingga terkadang manusia tersebut gagal
menjadi seorang makhluk yg hidup bahagia dimuka bumi. Segalanya terpulang
kepada Tuhan, Tak ada gunanya segenap apa yang kita miliki jika kita melupakan
Tuhan.
Dalam puisi Doa dapat terlihat sekali mengandung nilai spiritual yang tinggi.
Puisi ini ditujukan kepada pemeluk teguh yang tidak lain adalah orang yang
berkeyakinan akan kebesaran Tuhannya. Seorang hamba yang selalu mengingat
Tuhannya, selalu berharap akan rahmat dari Tuhannya dan mengungkapkan pertemuan
ke jalan Tuhan. Puisi ini menggambarkan perasaan seorang hamba yang penuh
penyerahan kepada Tuhannya. Dalam pernyataannya yang tersuram sekalipun seperti
kalimat terakhir tetap mencerminkan rasa hampa namun juga rasa syukur yang
takdiakui.
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin
Di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri
Tuhanku
Di pintu-Mu mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Karya Chairil Anwar (Deru Campur Debu, 1959:13)
Berikut ini perbandingan dan intertekstualitas puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dengan “Doa” karya Chairil
Anwar
Puisi Doa karya Chairil Anwar menunjukan adanya persamaan dan pertalian
dengan sajak Padamu Jua. Ada gagasan dan
ungkapan Chairil Anwar yang dapat dirunut kembali dalam sajak Amir Hamzah
tersebut. Kedua puisi tersebut juga memiliki ide yang hampir sama, meskipun
cara mengekspresikannya berbeda dan menunjukan kepribadiannya masing-masing
dalam menanggapi masalah yang dihadapi.
Dalam puisi Padamu Jua si aku yang habis
kikis dengan pasti kembali kepada-Mu, yaitu Tuhan, meskipun pada awalnya kecewa
karena ia merasa dipermainkan oleh Engkau. Namun akhirnya ia tak mau pergi lagi
karena Engkau sebagai dara dibalik tirai, sangat menariknya, menanti si aku seorang
diri dengan setia.
Dalam puisi Doa, si aku yang
terasing dalam kebingungannya meskipun pada mulanya termangu, toh akhirnya ia
datang juga kepada Tuhan karena Tuhan itu penuh seluruh (Maha Rahman dan Maha
Rahim). Tak ada tempat lain untuk mengadukan keremukan bentuknya (wujud
hidupnya) selain Dia. Maka, setelah aku mengetuk pintu kerahamanan dan
kerahimannya, si aku tidak bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan
(Engkau) sebagai kandil (lilin) kemerlap. Ini ditarnformasikan Chairil dalam Doa, sifat Tuhan sebagai “kerdip lilin
di kelam sunyi”.
Si aku dalam sajak Amir Hamzah ragu-ragu karena tidak dapat menangkap
wujud Engkau: Aku manusia/ Rindu Rupa/ Di mana Engkau/ Rupa tiada/ Suara
sayup-sayup/ Hanya kata merangkai hati//. Bahkan si aku merasa dipermainkan:
Engkau cemburu/ Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/Bertukar tangkap dengan
lepas//. Hal ini ditransformasikan Chairil: Tuhanku/ Dalam termangu aku masih
menyebut nama-Mu/ Biar susah sungguh mengingat kau penuh seluruh//. Penderitaan
si aku dalam sajak Amir Hamzah (bait ke-3,4,5) ditransformasikan Chairil Anwar:
Tuhanku/ Aku hilang bentuk/ Remuk/..../Aku mengembara di negeri asing//.
Meskipun demikian si aku (Amir Hamzah) kembali juga pada Engkau (Tuhan),
kekasihnya: Nanar aku, gila sasar/ Sayang berulang padamu jua/Engkau pelik
menarik ingin/ Serupa dara di balik tirai// Kasihmu sunyi/ menunggu seorang
diri/. Ini ditransformasikan Chairil Anwar dalam “Doa”: Tuhanku/ aku mengembara
di negeri asing// Tuhanku/ di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
Meskipun ada persamaan ide antra kedua sajak tersebut, namun
pelaksanaannya, yaitu pengekspresiannya, berbeda, menyebabkan hasilnyapun
berbeda. Hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan tanggapan terhadap Tuhan
(wujud Tuhan).
Amir Hamzah menanggapi wujud Tuhan sebagai kekasih. Tuhan dianthropomorfismekan diwujudkan sebagai
manusia: kekasih, gadis. Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat
personifikasi dan romantis: Pulang kembali aku padamu/ seperti
dahulu/...../Kaulah kandil kemerlap/ Melambai pulang perlahan/. Sabar , setia
selalu//..../ Engkau pelik menarik ingin/ serupa dara dibalik tirai// Kasihmu
sunyi/ menunggu seorang diri.
Amir Hamzah ingin menangkap wujud Tuhan seperti hal yang berbentuk wadag
(kasar), Satu kekasihku/ aku manusia/ Rindu Rasa/ Rindu Rupa//. Yang diinginkan
Amir Hamzah pertemuan dengan Tuhan sepereti halnya Nabi Musa: Hanya satu
kutunggu hasrat/ serupa Musa di Puncak Tursina (Pada sajak “ Hanya Satu”).
Tuhan digambarkan sebagai gadis yang pencemburu dan ganas (disini juga
dugambarkan sebagai binatang buas: Harimau atau Garuda): Engkau cemburu/ Engkau
ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas.
Hal tersebut di atas lain dari gambaran wujud Tuhan
menurut konsepsi Chairil Anwar. Antara aku dan Engkau itu ada jarak. Kekuasaan
Tuhan itu mutlak, ada hamba dan Tuhan. Maka Chairil Anwar tak memberinya bentuk
manusia (Anthropmorfisme), melainkan
hanya kekuasaan-Nya yang terasa. Tuhan memancarkan cahaya-Nya yang panas
meskipun juga untuk menerangi hati manusia: Caya-Mu panas suci/ Tinggal kerdip lilin
di kelam sunyi// Dalam sajaknya “Di Mesjid” : Kuseru saja Dia/ sehingga datang
juga// Kami pun bermuka-muka// Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada// Segala
daya memadamkannya// Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda.
Jadi, betapa Maha Kuasa-Nya Tuhan, seperti api yang berkobar
menyala-nyala yang membuat sia-sia si aku memadamkannya karena tidak mungkin.
Manusia tidak dapat berbuat lain kecuali hanya berserah diri dan mengadukan
nasibnya sebab hanya Dia tumpuan keluh dan tangis manusia: Tuhanku/ Aku hilang
bentuk/ Remuk// Tuhanku/ Aku mengembara di negeri asing.
Dalam hal gaya berekspresi, Chairil Anwar mempergunakan gaya semacam
Imagisme, yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra,
gambaran-gambaran atau imaji-imaji: Tuhanku/ Aku hilang bentuk/ Remuk/..../Aku
mengembara di negeri asing//. Dengan demikian, kata-kata dan kalimatnya ambigu,
bertafsir ganda. Amir Hamzah mempergunakan citra-citra juga, tetapi tidak untuk
mengemukakan pengertian, melainkan mengkonkretkan tanggapan. Kaulah kandil
kemerlap/ pelita jendela dimalam gelap/ melambai pulang perlahan/ sabar, setia
selalu/.../Engkau cemburu/Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar
tangkap dengan lepas//. Di sini kata-kata dan kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati
kepolosan(Diafan).
2.2 Persamaan dan Pertentangan
Puisi Padamu jua dengan Puisi Doa
Puisi “Doa” karya Chairil Anwar dan puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah,
memiliki persamaan dan pertentangan bila dianalisis dari berbagai segi. Berikut
analisis perbandingan unsur dari kedua puisi tersebut.
1. Sense
·
Dalam puisi Amir Hamzah (“Padamu Jua”) persoalan
secara umum yang di gambarkan dan diciptakan oleh penyair adalah seseorang yang
merasa kehilangan cinta dari seorang kekasih, sehingga ia kembali pada Tuhan.
Pertemuan dua orang kekasih yang telah lama berpisah (antara Aku dan Tuhan).
·
Chairil Anwar
(“DOA”) persoalan secara umum yang di gambarkan dan diciptakan oleh penyair
adalah seseorang yang selalu ingat pada Tuhan dalam keadaan apapun.
·
Perbedaan: Amir Hamzah (“Padamu Jua” ) mengisahkan
bahwa Ia selalu ingat pada Tuhannya hanya pada saat ia merasa terpuruk dalam
masalah atau saat ia sedih saja. Sedangkan Chairil Anwar (“DOA” ) mengisahkan
bahwa Ia selalu ingat pada Tuhannya kapan pun baik saat senang atau pun saat
sedih.
Persamaan: secara garis besar kedua puisi tersebut memiliki persamaan yaitu objek puisinya adalah Tuhan (sama-sama mngisahkan Tuhan).
Persamaan: secara garis besar kedua puisi tersebut memiliki persamaan yaitu objek puisinya adalah Tuhan (sama-sama mngisahkan Tuhan).
2.
Subject Matter
Amir
Hamzah (“Padamu Jua”) pokok pikirannya:
·
Setelah seseorang merasa menderita dan sakit barulah
ia ingat pada Tuhan/kembali pada Tuhan.
·
Menyatakan Tuhan adalah segalanya, yang menjadi
penuntun hidup sang pengarang dan selalu setia mencintai manusia.
·
Mengisahkan seseorang yang rindu pada Tuhan. Seseorang
yang mencari Tuhan, setelah ia menderita namun tidak pernah ia temukan karena
Tuhan ada di hatinya.
·
Tuhan memberi cobaan yng bertubi-tubi agar sang Aku
(pengarang) kembali pada-Nya.
·
Ia kembali pada Tuhan, namun banyak saja cobaan, ia
merasa belum mendapat kebahagiaan tapi ia bertekat bahwa kesedihan tidak akan
lagi mau ia rasakan.
Chairil
Anwar (“DOA”) pokok pikirannya:
·
Dalam keadaan
apapun selalu ingat Tuhan (baik susah, sedih, senang) dan kembali pada Tuhan
·
Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa.
·
Penyair menyatakan bahwa Tuhan adalah miliknya.
3.
Feeling
·
Amir Hamzah (“Padamu Jua”) sikapnya penyair terhadap
pokok pikiran yaitu penyair merasa rindu dan membutuhkan Tuhan hanya saat dia
sedih atau ada masalah saja.
·
Chairil Anwar
(“DOA”) sikapnya penyair terhadap pokok pikiran yakni penyair merasa selalu
membutuhkan Tuhan dalam keadaan apapun, baik saat sedih atau senang.
·
Perbedaan dari segi feeling: Amir Hamzah merasakan
bahwa ia selalu merasa berubah, dia tidak tepat pendirian, kadang ingat pada
Tuhan, tapi kadang melupakan Tuhan. Sedangkan Chairil Anwar merasakan bahwa ia
selalu tepat pada pendiriannya, akhirnya ia tidak mudah melupakan Tuhan karena
masa lalunya yang suram. Ia selalu ingat pada Tuhan.
·
Persamaan dari segi feeling: persamaan pada kedua
puisi tersebut yaitu sama-sama mengisahkan kerinduan pengarang pada Tuhan dan
ingin mendapatkan rahmat atau pengampunan dari Tuhan.
4.
Tone
·
Amir Hamzah: sikapnya terhadap pembaca yaitu selalu
masa bodoh, karena ia seolah mengungkapkan perasaan atau curahan hatinya pada
Tuhan, bukan pada pembaca. Ia masa bodoh terhadap pembaca, mau mengikutinya
atau tidak.
·
Chairill Anwar: sikapnya terhadap pembaca yaitu masa
bodoh tetapi pada puisi ini penyair berusaha meyakinkan pembaca bahwa kita
harus selalu ingat pada Tuhan.
·
Perbedaan: pada puisi Amir Hamzah: ia secara tidak
langsung ingin menunjukan kepada pembaca tentang segala masalahnya, dan
bagaimana sesuatu yang ia rasakan itu bisa membuatnya berubah dan kembali pada
Tuhan. Sedangkan pada puisi Chairil Anwar ia tidak begitu menampakkan segala
sesuatu yang terjadi padanya karena ia merasa Tuhan yang mengetahuinya.
·
Persamaan: dari kedua puisi tersebut sama-sama masa
bodoh terhadap pembaca.
5.
Totalitas
Makna
·
Amir Hamzah: makna keseluruhan yang tedapat pada
puisinya yaitu: penyair merasa kehilangan dan kembali pada Tuhan karena Tuhan
selalu menuntunnya kembali ke jalan yang benar (Tuhan). Ia merindukan Tuhan dan
ingin kembali pada Tuhan tetapi banyak cobaan yang ia hadapi untuk mendapatkan
kebahagiaan dari Tuhan. Namun ia bertekat untuk tidak akan lagi merasakan
kesedihan.
·
Chairil Anwar: makna keseluruhan yang terdapat dalam
puisinya yakni ia selalu merasa ingat pada Tuhan dimanapun dan dalam keadaan
apapun ia berada baik suka maupun dukan. Ia akan selalu berada di jalan yang
benar atau yang ditunjukan oleh Tuhan.
·
Perbedaan: dari totalitas makna, pada puisi Amir
Hamzah banyak mengungkapkan masalah yang ia hadapi sehingga kita kurang paham
masalah yang sebenarnya. Sedangkan pada puisi Chairil Anwar hanya terarah pada
satu atau beberapa persoalan sehingga mudah untuk dipahami.
·
Persamaan: dari totaliats makna , kedua puisi tersebut
sama-sama ditujukan atau mengarah pada Tuhan.
6.
Tema
·
Amir Hamzah: Dosa dan pengharapan untuk kembali pada
Tuhan (pertobatan).
·
Chairil Anwar:
Doa seseorang yang selalu ingat akan Tuhan.
·
Perbedaan: dari segi tema, puisi Amir Hamzah lebih
menekankan pada pertobatan sedangkan puisi Chairil Anwar lebih menekankan pada
doa yang selalu ingat pada Tuhan.
·
Persamaan: dilihat dari tema, puisi tersebut sama-sama
difokoskan atau sasarannya adalah pada Tuhan.
Dari analisis tersebut dapat diketahui pertentangan dan persamaan dari
kedua puisi tersebut. Puisi Chairil Anwar yang berjudul “Doa” menentang
terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisian sajak-sajak Pujangga Baru dan
sajak lama, yang tertampak jelas terwakili oleh sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah.
Dalam puisi “Doa” Chairil Anwar tidak menggunakan lagi gaya bahasa yang
mementingkan keindahan citraan konvensi estetik terhadap tanggapannya terhadap konsep tentang
Tuhan dan hubungannya dengan manusia, dia menentang konsep tentang Tuhan yang
dicitrakan dalam puisi Amir Hamzah, yang menggambarkan tuhan dalam wujud
seorang manusia (Kekasih) yang digambarkan memiliki emosi layaknya seorang yang
penuh cinta dan cemburu layaknya manusia.
III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
1. Kosepsi Tuhan yang terkandung dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar ternyata memiliki perbedaan pada cara penyampaian rasanya
1. Kosepsi Tuhan yang terkandung dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar ternyata memiliki perbedaan pada cara penyampaian rasanya
2. Ada hubungan persamaan antara puisi
“Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar