Sabtu, 05 Januari 2019

Makalah Perbandingan Puisi



Contoh Makalah Perbandingan Puisi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Karya sastra lahir sebagai bagian dari masyarakat, sebagai cermin dan sekaligus miniatur dari budaya dan kehidupan sosial di masyarakat. Ratna (2013:33) menjelaskan bahwa karya seni bersumber dalam masyarakat, dalam konfigurasi status dan peranan yang terbentuk dalam struktur sosial, dan sendirinya menerima pengaruh sosial.
Karya sastra lahir dalam sebuah masysarat sebagai bentuk komunikasi pengarang dengan lingkungan sosialnya. Karya sastra merupakan cara berkomunikasi yang khas yang dibuat sebagai bentuk seni dan memiliki makna yang ingin disampaikan kepada masyarakat pembacanya.
  Puisi merupakan salah satu genre sastra juga merupakan alat komunikasi yang digunakan bagi pengarangnya untuk berkomunikasi terhadap lingkungan masyarakatnya. Puisi yang terlahir pada zaman tertentu selalu mencoba menggambarkan suasana dan kondisi masyarakatnya.
Puisi sebagai karya sastra tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya dan konteks sosialnya, dan apabila dua pengarang yang berbeda mengarang puisi maka karyanya juga memiliki hubungan baik pertentangan atau persamaan dalam memahami dan menanggapi suata hal. Pertentangan atau persamaan ini akan mengasilkan sebuah dialektika antra dua puisi yang berbeda, dari dua pengarang yang berbeda pula. Riffaterre (Pradopo, 1995:167) menjelaskna bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan dan pertentangan.
Hubungan pertentangan pada puisi Indonesia modern dapat terlihat pada puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamjah dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar.  Pertentangan kedua pengarang pada puisi-puisi tersebut sangatlah menarik, kedua sama-sama memiliki tanggapan dan konsepsi yang berbeda terhadap pengambaran wujud Tuhannya. Puisi- puisi Chairil Anwar merupakan penentang terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisian sajak-sajak Pujangga Baru dan sajak lama, yang tertampak jelas terwakili oleh sajak-sajak Amir Hamzah. Sedangkan puisi-puisi Amir Hamzah adalah sajak-sajak yang sufistik dan memiliki tradisi religius yang tinggi, sehingga sangat menarik bila dibandingkan dengan puisi Chairil Anwar guna memperkaya makna dari kedua puisi tersebut.  Hal itulah yang melatarbelakangi penulis untuk memaparkan hasil kajian  perbandingan sastra yang berjudul Perbandingan Puisi “Padamu jua” Karya Amir Hamjah Dengan Puisi “ Dosa” Karya Chairil Anwar Dalam kajian Dialektika Tentang Konsepsi Tuhan

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kosepsi Tuhan yang terkandung dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
2.      Bagaiamanakah hubungan persamaan antara puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
3.      Bagaimanakah hubungan pertentangan antara puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
1.3 Tujuan Penelitian
      1.  Untuk mengetahui konsepsi Tuhan  yang terkandung dalam puisi “Padamu    Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar.
      2.  Untuk mengetahui hubungan persamaan antara puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar.
      3.  Untuk mengetahui hubungan pertentangan antara puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar.


BAB II
Perbandingan Puisi “PADAMU JUA” Karya Amir Hamjah
Dengan Puisi “ DOA” Karya Chairil Anwar
Dalam kajian Dialektika Tentang Konsepsi Tuhan
1.      Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena objek yang diteliti merupakan data kualitatif  berupa teks verbal, dalam wacana yang terkandung dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Data dari penelitian ini diperoleh dari kedua teks puisi , yaitu “Padamu Jua” dan “Doa”. Data itu bersumber dari teks “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan teks puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Data itu berupa kata, kalimat, ungkapan yang terdapat di dalam “Padamu Jua” dan “Doa”. Data tersebut merupakan unsur-unsur pembentuk intertekstualitas dalam kedua puisi yang dikaji, dimana dari kedua puisi tersebut bisa didapatkan unsur-unsur yang bisa dibandingkan dan diambil persamaan dan pertentangannya dalam sebuah dialektika.
Analisis data menggunakan metode intertekstual dan metode perbandingan. Dengan analisis intertekstual dapat terlihat hubungan intertekstual kedua puisi tersebut, sehingga nantinya akan membantu mengetahui  persamaan dan pertentangan kedua puisi tersebut dari data hasil analisis intertekstual itu setelah melalui metode perbandingan. Riffaterre (Pradopo, 1995:167) menjelaskna bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan dan pertentangan.
Metode perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan unsur-unsur yang ada dalam kedua puisi tersebut, sehingga mendapatkan karakteristik dan konvensi masing-masing puisi,serta diketahui pula persamaan dan pertentangannya.
2.      Hasil dan Pembahasan
2.1.Transformasi Puisi “Padamu Jua” dalam puisi “Doa”
Sebuah karya sastra lahir dalam sebuah masysarat sebagai bentuk komunikasi pengarang dengan lingkungan sosialnya. Karya sastra merupakan cara berkomunikasi yang khas yang dibuat sebagai bentuk seni dan memiliki makna yang ingin disampaikan kepada masyarakat pembacanya.
Untuk mendapatkan makna sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial budayanya. Dalam hubungan pembicaraan interkontekstualitas ini berkenaan dengn konteks sejarah sastranya (Pradopo,1995:167).
Sebuah karya sastra yang dibuat oleh dua pengarang yang berbeda, baik puisi maupun prosa ada kalanya memiliki hubungan satu sama lain baik pertentangan atau persamaan, hal itu diakibatkan karena karya tersebut terlahir pada zaman yang sama, di mana zaman dan konteks sosial budaya telah memberikan pengaruh terhadap proses kreatif dari penciptaan karya sastra tersebut. Teeuw (Pradopo,1995: 167) mengatakan bahwa karya sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaan. Oleh karena itu, sastra tidak bisa terlepas dari pengaruh budaya dan konteks sosialnya, dan apabila dua pengarang yang berbeda mengarang puisi atau prosa maka karyanya juga memiliki hubungan baik pertentangan atau persamaan dalam memahami dan menanggapi suata hal.
Hubungan pertentangan pada puisi Indonesia modern dapat terlihat pada puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamjah dengan puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Puisi Chairil Anwar merupakan penentang terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisian sajak-sajak Pujangga Baru dan sajak lama, yang tertampak jelas terwakili oleh sajak-sajak Amir Hamzah.
Di antara sastrawan-sastrawan Pujangga Baru, nama Amir Hamzah tentu paling dikenal dalam bidang puisi. Hal ini tidak lepas juga dari gelar yang telah dilekatkan padanya oleh Paus Sastra Indonesia, H. B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Melihat salah satu puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di atas, kita tidak bisa melepaskannya dari ciri khas Amir Hamzah yang suka mengangkat tema-tema agama. Kesukaannya dengan hal-hal berbau sufistik juga mengingatkan kita pada Hamzah Fansuri, peletak dasar puisi modern di Indonesia.
Sedangkan  Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian (http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar ). Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Padamu Jua adalah puisi yang mengisahkan tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku lirik dengan kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi positif, seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu, ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, saya menafsirkan pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah kematian aku lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah Tuhan aku lirik yang selalu mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.

PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali kepadamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Matahari bukan kawanku..
Karya Amir Hamzah  (Nyanyian Sunyi, 1959:5)

Puisi Doa memiliki kekuatan pesan religi yang cukup kental, lirik liriknya secara jelas dan transparan, memberikan pesan spiritual kepada makhluk tuhan untuk menjadikan Tuhan sebagai muara akhir segenap persoalan hidup. Chairil Anwar menegaskan bahwa tak ada solusi lain dalam hidup ini selain mengembalikan segala macam permasalahan kehidupan kepada sang pemilik kehidupan itu sendiri.

Manusia kerap lelah dalam menjalani hidup dengan segunung permasalahan, hingga terkadang manusia tersebut gagal menjadi seorang makhluk yg hidup bahagia dimuka bumi. Segalanya terpulang kepada Tuhan, Tak ada gunanya segenap apa yang kita miliki jika kita melupakan Tuhan.

Dalam puisi Doa dapat terlihat sekali mengandung nilai spiritual yang tinggi. Puisi ini ditujukan kepada pemeluk teguh yang tidak lain adalah orang yang berkeyakinan akan kebesaran Tuhannya. Seorang hamba yang selalu mengingat Tuhannya, selalu berharap akan rahmat dari Tuhannya dan mengungkapkan pertemuan ke jalan Tuhan. Puisi ini menggambarkan perasaan seorang hamba yang penuh penyerahan kepada Tuhannya. Dalam pernyataannya yang tersuram sekalipun seperti kalimat terakhir tetap mencerminkan rasa hampa namun juga rasa syukur yang takdiakui.

DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin
Di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri
Tuhanku
Di pintu-Mu mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Karya Chairil Anwar (Deru Campur Debu, 1959:13)

Berikut ini perbandingan dan intertekstualitas puisi “Padamu Jua”  karya Amir Hamzah dengan “Doa” karya Chairil Anwar
Puisi  Doa karya Chairil Anwar menunjukan adanya persamaan dan pertalian dengan sajak  Padamu Jua. Ada  gagasan dan ungkapan Chairil Anwar yang dapat dirunut kembali dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Kedua puisi tersebut juga memiliki ide yang hampir sama, meskipun cara mengekspresikannya berbeda dan menunjukan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi masalah yang dihadapi.
Dalam puisi  Padamu Jua  si aku yang habis kikis dengan pasti kembali kepada-Mu, yaitu Tuhan, meskipun pada awalnya kecewa karena ia merasa dipermainkan oleh Engkau. Namun akhirnya ia tak mau pergi lagi karena Engkau sebagai dara dibalik tirai, sangat menariknya, menanti si aku seorang diri dengan setia.
Dalam puisi Doa, si aku yang terasing dalam kebingungannya meskipun pada mulanya termangu, toh akhirnya ia datang juga kepada Tuhan karena Tuhan itu penuh seluruh (Maha Rahman dan Maha Rahim). Tak ada tempat lain untuk mengadukan keremukan bentuknya (wujud hidupnya) selain Dia. Maka, setelah aku mengetuk pintu kerahamanan dan kerahimannya, si aku tidak bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah  menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai kandil (lilin) kemerlap. Ini ditarnformasikan Chairil dalam Doa, sifat Tuhan sebagai “kerdip lilin di kelam sunyi”.
Si aku dalam sajak Amir Hamzah ragu-ragu karena tidak dapat menangkap wujud Engkau: Aku manusia/ Rindu Rupa/ Di mana Engkau/ Rupa tiada/ Suara sayup-sayup/ Hanya kata merangkai hati//. Bahkan si aku merasa dipermainkan: Engkau cemburu/ Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/Bertukar tangkap dengan lepas//. Hal ini ditransformasikan Chairil: Tuhanku/ Dalam termangu aku masih menyebut nama-Mu/ Biar susah sungguh mengingat kau penuh seluruh//. Penderitaan si aku dalam sajak Amir Hamzah (bait ke-3,4,5) ditransformasikan Chairil Anwar: Tuhanku/ Aku hilang bentuk/ Remuk/..../Aku mengembara di negeri asing//.
Meskipun demikian si aku (Amir Hamzah) kembali juga pada Engkau (Tuhan), kekasihnya: Nanar aku, gila sasar/ Sayang berulang padamu jua/Engkau pelik menarik ingin/ Serupa dara di balik tirai// Kasihmu sunyi/ menunggu seorang diri/. Ini ditransformasikan Chairil Anwar dalam “Doa”: Tuhanku/ aku mengembara di negeri asing// Tuhanku/ di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
Meskipun ada persamaan ide antra kedua sajak tersebut, namun pelaksanaannya, yaitu pengekspresiannya, berbeda, menyebabkan hasilnyapun berbeda. Hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan tanggapan terhadap Tuhan (wujud Tuhan).
Amir Hamzah menanggapi wujud Tuhan sebagai kekasih. Tuhan dianthropomorfismekan diwujudkan sebagai manusia: kekasih, gadis. Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat personifikasi dan romantis: Pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu/...../Kaulah kandil kemerlap/ Melambai pulang perlahan/. Sabar , setia selalu//..../ Engkau pelik menarik ingin/ serupa dara dibalik tirai// Kasihmu sunyi/ menunggu seorang diri.
Amir Hamzah ingin menangkap wujud Tuhan seperti hal yang berbentuk wadag (kasar), Satu kekasihku/ aku manusia/ Rindu Rasa/ Rindu Rupa//. Yang diinginkan Amir Hamzah pertemuan dengan Tuhan sepereti halnya Nabi Musa: Hanya satu kutunggu hasrat/ serupa Musa di Puncak Tursina (Pada sajak “ Hanya Satu”). Tuhan digambarkan sebagai gadis yang pencemburu dan ganas (disini juga dugambarkan sebagai binatang buas: Harimau atau Garuda): Engkau cemburu/ Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas.
Hal tersebut di atas lain dari gambaran wujud Tuhan menurut konsepsi Chairil Anwar. Antara aku dan Engkau itu ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu mutlak, ada hamba dan Tuhan. Maka Chairil Anwar tak memberinya bentuk manusia (Anthropmorfisme), melainkan hanya kekuasaan-Nya yang terasa. Tuhan memancarkan cahaya-Nya yang panas meskipun juga untuk menerangi hati manusia: Caya-Mu panas suci/ Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi// Dalam sajaknya “Di Mesjid” : Kuseru saja Dia/ sehingga datang juga// Kami pun bermuka-muka// Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada// Segala daya memadamkannya// Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda.
Jadi, betapa Maha Kuasa-Nya Tuhan, seperti api yang berkobar menyala-nyala yang membuat sia-sia si aku memadamkannya karena tidak mungkin. Manusia tidak dapat berbuat lain kecuali hanya berserah diri dan mengadukan nasibnya sebab hanya Dia tumpuan keluh dan tangis manusia: Tuhanku/ Aku hilang bentuk/ Remuk// Tuhanku/ Aku mengembara di negeri asing.
Dalam hal gaya berekspresi, Chairil Anwar mempergunakan gaya semacam Imagisme, yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran atau imaji-imaji: Tuhanku/ Aku hilang bentuk/ Remuk/..../Aku mengembara di negeri asing//. Dengan demikian, kata-kata dan kalimatnya ambigu, bertafsir ganda. Amir Hamzah mempergunakan citra-citra juga, tetapi tidak untuk mengemukakan pengertian, melainkan mengkonkretkan tanggapan. Kaulah kandil kemerlap/ pelita jendela dimalam gelap/ melambai pulang perlahan/ sabar, setia selalu/.../Engkau cemburu/Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas//. Di sini kata-kata dan kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati kepolosan(Diafan).
2.2 Persamaan dan Pertentangan Puisi Padamu jua dengan Puisi Doa
Puisi “Doa” karya Chairil Anwar dan puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah, memiliki persamaan dan pertentangan bila dianalisis dari berbagai segi. Berikut analisis perbandingan unsur dari kedua puisi tersebut.
1.      Sense
·            Dalam puisi Amir Hamzah (“Padamu Jua”) persoalan secara umum yang di gambarkan dan diciptakan oleh penyair adalah seseorang yang merasa kehilangan cinta dari seorang kekasih, sehingga ia kembali pada Tuhan. Pertemuan dua orang kekasih yang telah lama berpisah (antara Aku dan Tuhan).
·          Chairil Anwar (“DOA”) persoalan secara umum yang di gambarkan dan diciptakan oleh penyair adalah seseorang yang selalu ingat pada Tuhan dalam keadaan apapun.
·         Perbedaan: Amir Hamzah (“Padamu Jua” ) mengisahkan bahwa Ia selalu ingat pada Tuhannya hanya pada saat ia merasa terpuruk dalam masalah atau saat ia sedih saja. Sedangkan Chairil Anwar (“DOA” ) mengisahkan bahwa Ia selalu ingat pada Tuhannya kapan pun baik saat senang atau pun saat sedih.
Persamaan: secara garis besar kedua puisi tersebut memiliki persamaan yaitu objek puisinya adalah Tuhan (sama-sama mngisahkan Tuhan).
2.       Subject Matter 
Amir Hamzah (“Padamu Jua”) pokok pikirannya:
·         Setelah seseorang merasa menderita dan sakit barulah ia ingat pada Tuhan/kembali pada Tuhan.
·         Menyatakan Tuhan adalah segalanya, yang menjadi penuntun hidup sang pengarang dan selalu setia mencintai manusia.
·         Mengisahkan seseorang yang rindu pada Tuhan. Seseorang yang mencari Tuhan, setelah ia menderita namun tidak pernah ia temukan karena Tuhan ada di hatinya.
·         Tuhan memberi cobaan yng bertubi-tubi agar sang Aku (pengarang) kembali pada-Nya.
·         Ia kembali pada Tuhan, namun banyak saja cobaan, ia merasa belum mendapat kebahagiaan tapi ia bertekat bahwa kesedihan tidak akan lagi mau ia rasakan.
Chairil Anwar (“DOA”) pokok pikirannya:
·          Dalam keadaan apapun selalu ingat Tuhan (baik susah, sedih, senang) dan kembali pada Tuhan
·         Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa.
·         Penyair menyatakan bahwa Tuhan adalah miliknya.
3.      Feeling
·         Amir Hamzah (“Padamu Jua”) sikapnya penyair terhadap pokok pikiran yaitu penyair merasa rindu dan membutuhkan Tuhan hanya saat dia sedih atau ada masalah saja.
·          Chairil Anwar (“DOA”) sikapnya penyair terhadap pokok pikiran yakni penyair merasa selalu membutuhkan Tuhan dalam keadaan apapun, baik saat sedih atau senang.
·         Perbedaan dari segi feeling: Amir Hamzah merasakan bahwa ia selalu merasa berubah, dia tidak tepat pendirian, kadang ingat pada Tuhan, tapi kadang melupakan Tuhan. Sedangkan Chairil Anwar merasakan bahwa ia selalu tepat pada pendiriannya, akhirnya ia tidak mudah melupakan Tuhan karena masa lalunya yang suram. Ia selalu ingat pada Tuhan.
·         Persamaan dari segi feeling: persamaan pada kedua puisi tersebut yaitu sama-sama mengisahkan kerinduan pengarang pada Tuhan dan ingin mendapatkan rahmat atau pengampunan dari Tuhan.
4.      Tone
·         Amir Hamzah: sikapnya terhadap pembaca yaitu selalu masa bodoh, karena ia seolah mengungkapkan perasaan atau curahan hatinya pada Tuhan, bukan pada pembaca. Ia masa bodoh terhadap pembaca, mau mengikutinya atau tidak.
·         Chairill Anwar: sikapnya terhadap pembaca yaitu masa bodoh tetapi pada puisi ini penyair berusaha meyakinkan pembaca bahwa kita harus selalu ingat pada Tuhan.
·         Perbedaan: pada puisi Amir Hamzah: ia secara tidak langsung ingin menunjukan kepada pembaca tentang segala masalahnya, dan bagaimana sesuatu yang ia rasakan itu bisa membuatnya berubah dan kembali pada Tuhan. Sedangkan pada puisi Chairil Anwar ia tidak begitu menampakkan segala sesuatu yang terjadi padanya karena ia merasa Tuhan yang mengetahuinya.
·         Persamaan: dari kedua puisi tersebut sama-sama masa bodoh terhadap pembaca.
5.      Totalitas Makna  
·         Amir Hamzah: makna keseluruhan yang tedapat pada puisinya yaitu: penyair merasa kehilangan dan kembali pada Tuhan karena Tuhan selalu menuntunnya kembali ke jalan yang benar (Tuhan). Ia merindukan Tuhan dan ingin kembali pada Tuhan tetapi banyak cobaan yang ia hadapi untuk mendapatkan kebahagiaan dari Tuhan. Namun ia bertekat untuk tidak akan lagi merasakan kesedihan.  
·         Chairil Anwar: makna keseluruhan yang terdapat dalam puisinya yakni ia selalu merasa ingat pada Tuhan dimanapun dan dalam keadaan apapun ia berada baik suka maupun dukan. Ia akan selalu berada di jalan yang benar atau yang ditunjukan oleh Tuhan.
·         Perbedaan: dari totalitas makna, pada puisi Amir Hamzah banyak mengungkapkan masalah yang ia hadapi sehingga kita kurang paham masalah yang sebenarnya. Sedangkan pada puisi Chairil Anwar hanya terarah pada satu atau beberapa persoalan sehingga mudah untuk dipahami.
·         Persamaan: dari totaliats makna , kedua puisi tersebut sama-sama ditujukan atau mengarah pada Tuhan.
6.       Tema
·         Amir Hamzah: Dosa dan pengharapan untuk kembali pada Tuhan (pertobatan).
·          Chairil Anwar: Doa seseorang yang selalu ingat akan Tuhan.
·         Perbedaan: dari segi tema, puisi Amir Hamzah lebih menekankan pada pertobatan sedangkan puisi Chairil Anwar lebih menekankan pada doa yang selalu ingat pada Tuhan.
·         Persamaan: dilihat dari tema, puisi tersebut sama-sama difokoskan atau sasarannya adalah pada Tuhan.
Dari analisis tersebut dapat diketahui pertentangan dan persamaan dari kedua puisi tersebut. Puisi Chairil Anwar yang berjudul “Doa” menentang terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisian sajak-sajak Pujangga Baru dan sajak lama, yang tertampak jelas terwakili oleh sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah. Dalam puisi “Doa” Chairil Anwar tidak menggunakan lagi gaya bahasa yang mementingkan keindahan citraan konvensi estetik  terhadap tanggapannya terhadap konsep tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia, dia menentang konsep tentang Tuhan yang dicitrakan dalam puisi Amir Hamzah, yang menggambarkan tuhan dalam wujud seorang manusia (Kekasih) yang digambarkan memiliki emosi layaknya seorang yang penuh cinta dan cemburu layaknya manusia.


III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
1. Kosepsi Tuhan yang terkandung dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar ternyata memiliki perbedaan pada cara penyampaian rasanya
2. Ada hubungan persamaan antara puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dan puisi “Doa” Karya Chairil Anwar?
5.     





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menghindari Doktrinasi Terorisme