Contoh Makalah Psikologi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemilihan model pembelajaran yang tepat merupakan salah satu faktor
penentu efesiensi dan keberhasilan belajar siswa. Siswa yang pintar dan
memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dari teman-temannya, terkadang
menacapai hasil yang sama dengan teman-temannya yang lain. Sebaliknya, seorang
siswa yang hanya memiliki kemampuan kognitif
rata-rata atau sedang terkadang mampu mencapai hasil yang maksimal dan
mencapai puncak prestasi lantaran menggunakan model pembelajaran yang efektif
dan efisien.
Pembelajaran adalah sebuah seni dalam memberikan pengajaran dan
pendidikan kepada peserta didik. Pembelajar yang baik adalah yang memiliki
konsep pola dan desain yang tepat dengan karakter kelas yang akan diajarkan.
Karena pembelajaran akan lebih efektif
bila pola atau model yang digunakan sesuai dengan kondisi, potensi,
serta karakter peserta didik.
Model pembelajaran merupakan konsep atau pola yang dirancang oleh guru
dalam pembelajaran yang disesuaikan kondisi, potensi, dan karakter peserta
didik yang berbeda-beda. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan
menghasilkan pola pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran yang baik akan
menghasilkan pencapaian hasil belajar yang optimal dan memuaskan.
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran berkelompok
sehingga memberi keuntungan dalam mengajarkan kepada peserta didik tentang arti
kerja sama, saling menghormati, sikap demokratis, dan toleran dalam situasi
belajar. Hal itu yang menjadikan model pembelajaran ini perlu dikaji secara
mendalam dalam sebuah kajian psikologi pendidikan.
Pemahaman guru tentang model pembelajaran kooperatif sangatlah penting,
sehingga guru mampu menghasilakan pembelajaran yang efektif sesuai dengan
perkembangan dan psikologi belajar pada anak. Namun faktanya banyak guru yang
kurang memahami hakikat model
pembelajaran tersebut secara komprehensif sebagai model pembelajaran yang
memberi pengaruh terhadap psikologi belajar siswa. Hal itulah yang
melatarbelakangi penulis untuk memaparkan hasil kajian psikologi yang
berjudul Model Pembelajaran Kooperatif dan Pengaruh Psikologis Pada Siswa Dalam
Proses Belajar Dalam Kajian Psikologi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pembelajaran kooperatif bila dikaji
dengan teori psikologi?
2. Bagaiamanakah pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap psikologis belajar siswa dari sudut
pandang teori psikologi pendidikan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui makna pembelajaran kooperatif bila dikaji dengan teori psikologi.
2. Untuk
mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap psikologis siswa dari
sudut pandang teori psikologi pendidikan?
BAB II
Model Pembelajaran Kooperatif dan Pengaruh Psikologis Pada Siswa Dalam
Proses Belajar Dalam Kajian Psikologi.
2.1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Dalam proses belajar ada kalanya gagal dan ada kalanya menghasilkan hasil
yang memuaskan, dan semua itu tidak terlepas dari berbagai pengaruh yang
mempengaruhi proses belajar pada siswa sehingga hasilnya tidak optimal. Dalam
hal ini, seorang guru yang kompeten diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan
munculnya kelompok siswa yang menunjukan gejala kegagalan dengan berusaha
mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.
Secara umum, Muhibin Syah (1999: 130) menjelaskan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni:
1.
faktor internal
(faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/ kondisi jasmani dan rohani siswa;
2.
faktor eksternal
(faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa;
3.
faktor pendekatan
belajar siswa (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan
pembelajaran materi-materi pelajaran.
1.
Faktor
Internal
Faktor
internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang meliputi dua
aspek, yaitu aspek fisiologis (aspek jasmaniah) dan aspek psikologis (aspek
rohaniah).
Faktor-faktor
fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu.
Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam. Pertama, keadaan tonus jasmani.
Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat memengaruhi aktivitas belajar
seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif
terhadap kegiatan belajar individu. Sebaliknya, kondisi fisik yang lemah atau
sakit akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Oleh karena
keadaan tonus jasmani sangat memengaruhi proses belajar, maka perlu ada usaha
untuk menjaga kesehatan jasmani.
Kedua, keadaan fungsi jasmani/fisiologis.
Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologi pada tubuh manusia
sangat memengaruhi hasil belajar, terutama pancaindra. Pancaindra yang
berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula.
Dalam proses belajar, pancaindra merupakan pintu masuk bagi segala informasi
yang diterima dan ditangkap oleh manusia, sehingga manusia dapat mengenal dunia
luar. Pancaindra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata
dan telinga. Oleh karena itu, baik guru maupun siswa perlu menjaga pancaindra
dengan baik, baik secara preventif maupun yang,bersifat kuratif,
dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan
kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodik, mengonsumsi makanan yang
bergizi, dan lain sebagainya.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni faktor
lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.
a.
Faktor Lingkungan Sosial, yakni faktor yang berhubungan dengan lingkungan
masyarakat di mana terjadinya interaksi sosial.
·
Lingkungan
sosial keluarga.
Lingkungan ini sangat
memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua,
demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi
dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga,
orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan
aktivitas belajar dengan baik.
·
Lingkungan
sosial sekolah
Seperti guru,
administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang
siswa. Hubungan yang harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi
siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. maka para pendidik, orangtua, dan
guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimiliki oleh anaknya atau
peserta didiknya, antara lain dengan mendukung, ikut mengembangkan, dan tidak
memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.
·
Lingkungan
sosial masyarakat.
Kondisi lingkungan
masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan
siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak telantar juga dapat memengaruhi
aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman
belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum
dimilikinya.
b. Lingkungan Non-Sosial
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan
nonsosial adalah:
·
Lingkungan
alamiah
Seperti kondisi udara
yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat,
atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan
alamiah tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi aktivitas
belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses
belajar siswa akan terhambat.
·
Faktor
instrumental, yaitu perangkat
belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti
gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olahraga.
Contohnya, letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi syarat-syarat
seperti di tempat yang tidak terlalu dekat kepada kebisingan atau jalan ramai,
lalu bangunan itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Kedua, software,
seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan,
silabi, dan lain sebagainya.
·
Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke
siswa).
Faktor ini hendaknya disesuaikan
dengan usia perkembangan siswa, begitu juga dengan metode mengajar guru,
disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat
memberikan kontribusi yang positif terhadap aktivitas belajar siswa, maka guru
harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat
diterapkan sesuai dengan kondisi siswa.
3. Faktor Pendekatan Belajar
Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi psikologis cara belajar anak,
yaitu faktor Internal siswa, eksternal, dan faktor pendekatan belajar. Faktor
pendekatan belajar merupakan faktor yang bisa kita usahakan dalam sebuah proses
pembelajaran. Karena hanya melalui faktor ini eksistensi guru terhadap
pendidikan dan pembelajaran anak bisa dengan jelas terlihat. Muhibin syah
(1999:130) menjelaskan bahwa faktor pendekatan belajar siswa (approach to learning), yakni jenis upaya
belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk
melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Faktor pembelajaran merupakan upaya belajar siswa yang bisa meliputi
strategi, teknik, metode, dan model pembelajaran tertentu yang dipilih untuk
mempermudah memahami dan mengusai kopetensi dan materi pembelajaran.
Menurut Ahmadi, dkk. (2011:17) bahwa faktor pendekatan belajar adalah cara yang digunakan
atau strategi yang digunakan untuk menunjang efektifitas dan efesiensi belajar
atau dapat didefinisikan sebagai perangkat operasional yang direkayasa
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan belajar.
Pendekatan belajar atau lebih dikenal dengan istilah model, metode,
strategi, atau model pembelajaran adalah perangkat operasional yang mampu
direkayasa oleh guru untuk mengefektifkan pembelajaran, sehingga tujuan belajar
tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Sardiman AM (Ahmadi,
dkk.,2011:17) faktor yang mempengaruhi belajar siswa dikelompokkan menjadi 2,
yaitu: 1. faktor dari dalam subjek belajar; 2. faktor dari luar subjek belajar.
Faktor dari luar subjek belajar salah satunya adalah pendekatan belajar sebagai
cara belajar siswa dalam mempelajari materi pembelajaran. Sehingga faktor ini
dianggap penting dan mesti diperhatikan guru, guna menjadikan siswa mudah
memahami materi dan mampu mencapai tujuan yang ingin dicapai.
2.2. Konsep Dasar Model Pembelajaran
Pembelajaran pada awalnya disebut dengan istilah mengajar. Menurut
Woolfolk (Sukartawi,1995:32) mengajar itu adalah seni, ilmu pengetahuan dan
sekaligus juga suatu pekerjaan yang memerlukan waktu yang banyak. Mengajar
dikatakan “seni” (art), karena
mengajar itu membutuhkan inspirasi, intuisi, bakat dan kreativitas.
Mengajar dikatakan pula sebagai “ilmu pengetahuan” (science), karena dalam mengajar itu diperlukan penguasaan terhadap
ilmu pengetahuan (bahan ajar) yang diberikan dan juga penguasaan terhadap
keterampilan di dalam memberikan bahan ajar tersebut.
Seiring dengan kemajuan zaman yang terus berkembang dari hari ke harinya,
ternyata dunia pendidikan juga mengikuti arus perkembangan zaman itu. Salah
satu perkembangan itu ditunjukkan dengan dihadirkannya banyak model-model
pembelajaran yang biasa diterapkan saat ini. Seorang pengajar memerlukan
keahlian dalam memilih dan melaksanakan cara mengajar yang terbaik agar ilmu pengetahuan dapat disampaikan
dengan baik, sehingga siswa dapat menerimanya dengan baik pula. Cara
mengajar yang memiliki kekhas-an inilah
yang disebut model pembelajaran. Menurut Suyatno model pembelajaran adalah
bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan
secara khas oleh guru di kelas (2009: 25-26).
Beberapa model pembelajaran ini diterapkan guru saat mengajarkan sesuatu
kepada muridnya dengan tujuan agar pesan dari materi pembelajaran itu sendiri
tersampaikan dengan mudah. Model pembelajaran yang sudah ada sejauh ini
terbukti bisa sangat membantu pekerjaan para guru dikarenakan para siswa dapat
mengerti, tahu, dan paham sebuah pelajaran dengan lebih mudah .
Model pembelajaran merupakan konsep atau pola yang dirancang oleh guru
dari awal sampai akhir yang memiliki teknik-tenik dan sintaks yang berbeda-beda
satu model dengan model lain. Teknik dan sintaks (langkah/prosedur) yang
berbeda inilah yang membedakan model pembelajaran yang satu dengan model
pembelajaran yang lain.
Pengertian Model Pembelajaran dapat diartikan sebagai cara, contoh maupun
pola, yang mempunyai tujuan meyajikan pesan kepada siswa yang harus
diketahui, dimengerti, dan dipahami yaitu dengan cara membuat suatu pola atau
contoh dengan bahan-bahan yang dipilih oleh para pendidik/guru sesuai dengan
materi yang diberikan dan kondisi di dalam kelas. Suatu model akan mempunyai
ciri-ciri tertentu dilihat dari faktor-faktor yang melengkapinya
Kemampuan guru dalam
memilihan model pembelajaran yang tepat menjadi sebuah keharusan untuk mencapai
ketercapaian tujuan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran harus dilandasi
beberapa pertimbangan. Karena itu dalam
memilih model pembelajaran, guru harus memperhatikan keadaan atau kondisi
siswa, bahan pelajaran serta sumber-sumber belajar yang ada agar penggunaan model pembelajaran dapat
diterapkan secara efektif dan menunjang keberhasilan belajar siswa.
Seorang guru diharapkan memiliki motivasi
dan semangat pembaharuan dalam proses pembelajaran yang dijalaninya. Menurut
Sardiman A. M. (2004 : 165), guru yang kompeten adalah guru yang mampu
mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas
yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar
mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media,
bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana guru menerapkan strategi, teori
belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Colin Marsh (1996 : 10) yang menyatakan
bahwa guru harus memiliki kompetensi
mengajar, memotivasi peserta
didik, membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi,
merencanakan pembelajaran, dan mengevaluasi. Semua kompetensi tersebut
mendukung keberhasilan guru dalam mengajar.
Jika membahas tentang beberapa contoh dari model-model pembelajaran itu
sendiri, ada beberapa model yang sudah tidak asing lagi dengan kita, namun
beberapa diantaranya juga merupakan model baru yang baru diterapkan dalam dunia
pendidikan. Beberapa contoh model pembelajaran yang sudah umum diketahui yaitu
metode ceramah, diskusi, studi kasus, demonstrasi, dan lain sebagainya.
Sedangkan beberapa model pembelajaran yang masih terbilang asing tidak lain
adalah Contextual Teaching and Learning (CTL), Cooperative Learning
(CL), Problem Based Learning (PBL), Pembelajaran bersiklus (Cycle
Learning), Realistic Mathematic Education (RME), Open Ended
(OE) yang dalam bahasa Indonesianya juga disebut sebagai metode problem
terbuka, dan masih banyak lagi lainnya.
2.3. Model
Pembelajaran Kooperatif dalam Kajian Psikologi Pendidikan
Model pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran berkelompok.
Walaupun sebenarnya tidak semua belajar kelompok dikatakan belajar kooperatif,
seperti dijelaskan abdulhak (Rusman, 2011: 203) bahwa pembelajaran kooperatif
dilaksanakan melalui sharing proses antara peserta belajar, sehingga mewujudkan
pemahaman bersama diantara peserta didik itu sendiri.
Muhibbin (1999:35) Juga menjelaskan bahwa seperti dalam proses-proses
perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan moral siswa juga selalu
berkaitan dengan proses belajar. Sehingga proses belajar yang lebih
mengedepankan asas kerjasama seperti model pembelajaran kooperatif memiliki
pengaruh yang bersar terhadap perkembangan sosial dan moral siswa apabila
diterapkan dengan serius dan benar.
Menurut Taniredja, dkk. (2011:55)
dari sudut filosofis menjelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan
sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama
dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Model pembelajaran
kooperatif memberikan kebebasan peserta didik untuk bekerja sama menyelesaikan
tugas yang diberikan guru pada masing-masing kelompok.
Nurhayati (Rusman, 2011: 203) juga menjelaskan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam
suatu kelompok kecil untuk saling berinteraksi. Siswa dalam model kooperatif
bisa bekerjasama dengan anggota lain, sehingga dalam model ini siswa
bertanggung jawab yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama
anggota untuk belajar.
Model pembelajaran koperatif
merupakan pola belajar dalam kelompok. Namun , model koperatif memiliki
kekhasan yang membedakan dengan pola belajar kelompok yang biasa. Menurut
pendapat lie,A.(2008: 29) bahwa model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan
sekedar belajar dalam kelompok. Pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur dasar yang membedakannya
dengan pembagian kelompok yang asal-asalan.
Cooperatif learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur
tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok
(Solihatin, E., dan Rahardjo, 2007: 4). Sehingga pembelajaran kooperatif
memberiakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak dalam mengembangkan
potensinya dalam kelompok belajar dengan mementingkan sikap sosial yang penuh
kebersamaan.
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang hakikatnya
mementingkan unsur-unsur kemanusian dalam hubungan sosial dalam mempelajari
sesuatu dan menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama dalam sebuah kelompok.
2.4. Model Pembelajaran Kooperatif dan Pengaruhnya Terhadap Psikologis Siswa dalam Belajar
Perkembangan sosial, moral
dan psikologis siswa tidak terlepas dari pengaruh interaksi sosial saat siswa
berada dalam situasi belajar di sekolah. Muhibbin (1999:35) juga menjelaskan
bahwa seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan
sosial dan moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Begitu juga
model pembelajaran tertentu secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan
sosial, moral dan psikologis siswa, tidak terkecuali dengan model pembelajaran
kooperatif.
Menurut Taniredja, dkk. (2011:55) dari menjelaskan bahwa model
pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan
kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang
terstruktur. Sedangakan menurut pendapat lie,A.(2008: 29) bahwa model
pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok.
Pembelajaran kooperatif memiliki
unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang
asal-asalan.
Cooperatif learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur
tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok
(Solihatin, E., dan Rahardjo, 2007: 4). Pembelajaran Koperatif ini mengajarkan
proses bekerja sama dan interaksi sosial di dalam kelompok belajar, sehingga
siswa dilatih untuk terbiasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman
sebayanya.
Model pembelajaran koperatif lebih mengedepankan prinsip saling
bergantungan dan kerja sama. Johnson (2011:75) prinsip saling-bergantungan
menuntun pada penciptaan hubungan, bukan isolasi. Sehingga model pembelajaran
koperatif mampu menciptakan hubungan yang akrab tanpa memisahkan siswa yang
satu dengan yang lain, sehingga akan tumbuh rasa saling membantu dan menghargai
dalam proses menguasai materi dalam pembelajaran di kelas.
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang hakikatnya mementingkan
unsur-unsur kemanusian dalam hubungan sosial dalam mempelajari sesuatu dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama dalam sebuah kelompok. Dalam
pembelajaran kooperatif siswa dapat saling berinteraksi satu sama lain, dan
siswa mampu membuat kesepakatan dalam mengambil keputusan secara bersama-sama.
Hal itu menjadikan pembelajaran menanamkan pada diri siswa untuk memiliki sikap
sosial yang tinggi dan menumbuhkan karakter santun, saling menghormati,
gotong-royong, dan belajar berdemokrasi dalam kelompok belajar masing-masing.
Model kooperatif sangat intens mengarahkan siswa untuk mandiri dalam
berfikir dalam kelompok dan berinteraksi dalam menyelesaikan masalah dan
mempelajarinya. Sehingga secara psikologis, model koperatif ini mampu
mengarahkan sikap optimis, percaya diri, dan mengajarkan kepada anak untuk
berkomunikasi secara santun ketika menyatukan perbedaan pendapat dengan siswa
lain di anggota kelompok belajarnya.
Model kooperatif menumbuhkan sikap demokratis, gotong royong, dan
toleran. Sehingga siswa lebih berkembang keberaniannya untuk hidup dalam
lingkungan sosial dan menumbuhkan sikap dan prilaku sosial yang baik. Sikap
demokratis ini akan tumbuh ketika siswa harus memusyawarahkan hasil berfikir
masing-masing untuk disatukan dalam satu kesimpulan dan mufakat bersama. Meraka
akan meraskan suasana yang demokratis dan saling mengahrgai satu sama lain,
ketika dalam kelompoknya harus dituntut untuk gotong royong dan saling mengerti
satu sama lain, dalam hal pembagian tugas misalnya.
Tom V. Savage (Rusman, 2011:203) megemukakan bahwa cooperatif learning adalah suatu pendekatan yang menekankan
kerjasama dalam kelompok. Ketika suatu pembelajaran menekankan kerjasama dalam
kelompok ini dilaksanakan maka kemampuan siswa akan merata, dan memiliki rasa
kebersamaan yang baik, dan memberikan dampak positif bagi anggota tiap kelompok
terutama dalam hubungan mereka yang lebih akrab dan toleran. Johnson (2011: 73) menjelaskan bahwa dengan
bekerja sama, para siswa terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana,
dan mencari pemecahan masalah. Bekerja sama akan membantu mereka mengetahui
bahwa saling mendengarkan akan menuntun pada keberhasilan.
Model kooperatif juga memiliki tujuan untuk mengembangkan keterampilan
sosial siswa dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang baik, seperti berbagi
tugas, aktif bertanya, menghargai
pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau
pendapat, dan bekerja dalam kelompok. Sehingga pada akhirnya pembelajaran
kooperatif membentuk siswa untuk lebih baik dalam prestasi akademis dan mengemabangkan keterampilan sosial diri siswa
dalam kehidupan bermasyarakat, dan secara tidak langsung mengembangankan
kecerdasan emosional siswa dalam berinteraksi dengan kawan belajarnya.
Taniredja dkk. (2011:60) menjelaskan bahwa tujuan penting dari pembelajaran
kooperatif ialah untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen,
kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain membantu (Trianto, 2011:
56). Hal itu, menunjukan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan
pendekatan belajar yang memadukan beberapa faktor yang mempengaruhi belajar
siswa baik faktor internal siswa (meningkatkan optimalisasai potensi dan
kondisi fisik, intelegensi, sikap, minat, bakat, dan motivasi siswa), faktor
eksternal siswa (mengutamakan pada kerja sama dan interaksi sosial dalam
belajar), faktor pendekatan belajar (strategi belajar efektif dengan memecahkan
masalah secara bersama).
Model pembelajaran kooperatif juga mengajarkan siswa untuk tidak
indivudualis dalam kehidupan bermasyarakat. Siswa akan lebih memiliki sikap
sosial yang tinggi ketika harus membantu teman yang lain untuk menguasai materi
dan memecahkan tugas secara bersama. Sehingga secara psikologis beban siswa
dalam memecahkan tugas semakin berkurang dan memudahkan siswa memahami materi
secara bersama-sama. Hal tersebut menjadikan pembelajaran kooperatif menjadi
faktor yang menunjang keefektifan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Proses demokrasi dan peran aktif merupakan ciri yang khas dari
pembelajaran kooperatif (Trianto, 2011: 56). Hal itu menunjukan bahwa
pembelajarn kooperatif tidak hanya memberikan peran aktif kepada siswa dalam
pembelajaran, tetapi juga memberikan pembelajaran tentang proses demokrasi
dalam kehidupan sosial. Dari proses demokrasi tersebut pengalaman berkomunikasi
siswa berkembang karena proses negosiasi terjadi secarara intens dan
berkesinambungan, sehingga berdampak juga pada perkembangan sikap dan
psikologis berkomunikasi siswa.
Selama dalam pembelajaran siswa tetap belajar kelompok selama beberapa
pertemuan. Mereka diajarkan keterampilan khusus agar bekerja sama dengan baik
di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar aktif, memberikan penjelasan
kepada kelompoknya dengan baik, berdiskusi, dan sebagainya. Tugas anggota
kelompok adalah memuntaskan materi yang diberikan guru dan membantu teman
sekelompoknya dalam memahami materi.
Belajar belum tuntas jika salah
satu anggota kelompok ada yang belum menguasai materi pelajaran. Sehingga dalam
model pembelajaran kooperatif ini sikap saling tenggang rasa, toleran, dan
saling membantu semakin tumbuh dan berkembang sebagai potensi sosial yang
sangat berharga dalam pembentukan karakter dan moral siswa. Siswa pun akan
semakin mampu mengendalikan diri sehingga kecerdasan emosi semakin terlatih
dengan baik. Hal itulah yang menjadikan model pembelajaran kooperatif mampu
menjadikan peserta didik bisa saling membantu teman sekelompoknya untuk
mengasai materi yang belum dikuasai, sehingga ketuntasan pembelajaran juga bisa
tercapai.
Perkembangan psikolososial atau disebut juga perkembangan sosial siswa
akan berkembang dengan adanya pembelajaran yang berbasis kelompok belajar. Perkembangan psikososial menurut Muhibbin
(1999:35) adalah proses perkembangan kepribadian siswa selaku anggota
masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Sehingga dengan model kooperatif
ini di harapkan kepribadian siswa akan
tumbuh sesuai kebutuhannya nanti, ketika berinteraksi langsung di lingkungan
masyarakatnya. Muhibbin (1999:35) juga menjelaskan bahwa seperti dalam
proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan moral siswa
juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Sehingga
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
1.
Pendidikan berkarakter moral adalah kunci untuk
perbaikan sosial dan kemajuan peradaban bangsa yang menjunjung tinggi
integritas nilai dan kemanusiaan.
2.
Model pembelajaran Kooperatif adalah model pembelajaran
yang lebih mengutamakan kerja sama dalam sebuah kelompok sehingga mampu
mempengaruhi peningkatan kemampuan siswa dalam menguasai dan memahami materi
pembelajaran.
3.
Model pembelajaran kooperatif mampu menjadikan peserta
didik bisa saling membantu teman sekelompoknya untuk mengasai materi yang belum
dikuasai, sehingga ketuntasan pembelajaran juga bisa tercapai.
4.
Model pembelajaran kooperatif adalah wujud nyata dari
pendidikan karakter di kelas, karena memberikan banyak pengalaman belajar yang
mementingkan hubungan kerja sama antar siswa dalam kelompok, mengajarkan kepada
siswa arti dari perbedaan, kekompakan, toleran, praktik demokrasi, dan saling
membantu.
5.
Model pembelajaran kooperatif mengajarkan siswa untuk
tidak indivudualis dalam kehidupan bermasyarakat. Siswa akan lebih memiliki
sikap sosial yang tinggi ketika harus membantu teman yang lain untuk menguasai
materi dan memecahkan tugas secara bersama
6.
Dalam model pembelajaran kooperatif, sikap saling tenggang rasa, toleran, dan
saling membantu siswa semakin tumbuh dan berkembang sebagai potensi sosial yang
sangat berharga dalam pembentukan karakter dan moral siswa. Siswa pun akan
semakin mampu mengendalikan diri sehingga kecerdasan emosi semakin terlatih
dengan baik, sehingga membantu perkembangan psikologis pada anak secara
optimal.
7.
Perkembangan psikolososial siswa atau disebut juga
perkembangan sosial akan berkembang
dengan adanya pembelajaran yang berbasis kelompok belajar seperti pembelajaran
pada model kooperatif.
3.2 Saran
1.
Model pembelajaran kooperatif adalah pola belajar yang
mampu mendukung tumbuh kembangnya potensi sosial anak, sehingga model
kooperatif ini layak diterapkan di dalam kelas.
2.
Sebagai tenaga pengajar, guru harus lebih mendalami
model-model pembelajaran yang memicu kecerdasan emosional anak, seperti model
pembelajaran kooperatif, sehingga guru memiliki andil dalam membentuk
kepribadian dan karakter siswa.
3.
Perlunya penelitian dan kajian lagi tentang model
pembelajaran dari sisi kajian psikologi, agar guru semakin memiliki wawasan
yang dalam dari metode pembelajarn serta manfaat yang bisa diambil dari metode
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar