JAKA POLENG (Cerita
Rakyat Dari Brebes)
Versi Bahasa Indonesia
Jaka Poleng merupakan cerita yang diceritakan turun temurun oleh orang tua di Brebes, sebuah Kabupaten di Jawa Tengah. Cerita ini memiliki banyak pelajaran budi pekerti yang patut kita jadikan contoh teladan bagi anak cucu kita. Cerita ini seperti cerita legenda yang kaya akan nilai kearifan lokal yang bisa kita ambil manfaatnya untuk pendidikan karakter generasi kita nanti. Berikut ini cerita Joko Poleng yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Awal Cerita, disebuah halaman belakang kabupaten Brebes Bi
Ojah sedang sibuk menggaruk-garuk tanah dengan sapu lidinya, beberapa menit
setelahnya sampah daun melinjo dan mangga kering terkumpul dan siap untuk
dibakar.
Seorang pemuda gagah nampak berlari tersaruk-saruk oleh
sarungnya masuk dari pintu belakang.
“Biiii…..” teriaknya sambil terus berlari menuju kandang
kuda yang terletak sepuluh meter dipojok kanan halaman belakang kabupaten.
Ya, dialah laksito selepas sholat shubuh beginilah
pekerjaanya merawat Kyai Genta kuda kesayangan SinuwunyaGusti Kanjeng Bupati.
Dia anak Pangon (Anak gembala bayaran : Ind) kesayangan Kanjeng
Bupati, rapi pekerjaanya dan tekun ibadahnya. “Wah…. Ingin aku selalu
melihat Laksito merawat Si Genta…” KatJoko poleng cerita rakyat dari brebesa-kata puas dan sanjung puji selalu
Bupati berikan karena puas melihat hasil kerja Laksito.
Setelah, Kandang dan kudanya sudah selesai dibersihkan
biasanya , Laksito menikmati seduhan teh poci dan kue alu-alu yang tiap hari
disediakan Bi Ojah, barulah ia berangkat menuju persawahan untuk mencari rumput
hijau makanan pokok untuk Kyai Genta kuda rawatanya.
“Bi… aku berangkat kesawah dulu yah…” Laksitho
berpamitan dengan Bi Ojah sambil menyangkutkan dua keranjang bambu kosong wadah
rumput kebahu sebelah kananya, sebuah sabit tanpa warangka (Sarung :
Ind.), ia taruh disalah satu keranjang bambunya, dan hilanglah sosok Lakshito
dibalik pintu gerbang pendopo kabupaten.
Ditelusurinya pematang sawah yang tanahnya masih lembab
terkena embun, menuju kaki bukit wanasari yang rumputnya hijau dan lebat,
setelah sampai Lakshito tanpa ragu menyabit semua rumput gajah yang tumbuh liar
dikaki bukit, satu keranjang terisi penuh Lakshito pun merasa lelah.
“Glek…glek…glek….” Buah jakun Lakshito tampak naik turun
mereguk air kendi yang ia bawa, dan selalu ia minum dibawah pohon besar rindang
di kaki bukit wanasari.
***
Angin yang mengipis sangat sepoi, keringat Lakshito yang
semula lantis bercucur perlahan berhenti, rasa lelah pun berganti rasa kantuk,
saat mata Lakshito mulai sayup-menyayup hampir tenggelam dalam tidurnya, ia
melihat Ula Poleng (Ular Belang : Ind)besar bermahkota emas dikepalanya
melintas didepanya.
Lakshito, menggerus-gerus matanya beberapa kali, setelah
yakin ia sedang tidak bermimpi Lakshito mengendap-endap dari belakang,
mengikuti kemana ular ajaib bermahkota emas itu akan pergi.
Langkah kelok-keloknya berhenti disebuah semak rimbun,
Lakshito hanya bisa melihat ekornya yang terus bergoyah-goyah kekanan kekiri
sesekali memutar.
“Wah… kenapa yah… apa ini tafsir dari mimpiku semalam, aku
bertemu Raja Ular yah…?” Laksito memalingkan mukanya dan bergumam sendiri,
sambil jempolnya menyaruk janggutnya.
Setelah sekian waktu Laksito terbengong sampai tak sadar ular
belang bermahkota emas itu pergi dan meninggalkan selaput kulit benang-benang
berwarna putih berkilau-kilau, laksito memungut sisik tua ular belang itu dan
menyimpanya dikantong lalu ia mulai lagi menyelesaikan pekerjaanya mengisi
penuh keranjang bambu wadah rumputnya sampai penuh.
“Huuhh…selesai juga akhirnya ” ucap laksito sambil
menyeka keringat yang mengucur didahinya dengan tanganya.
Laksito pulang dengan memikul dua keranjang penuh rumput,
sesekali untuk mengusir sepi laksito berdendang lagu kesukaanya, “Gambang
Suling” sambil nafasnya terengah-engah :
Gambang suliiiing…
Kumandang Swaranee…
Tulat…tulit Kepenak Uninee…
Unineemuu… Ngrenyuh ake baaa…
Lenrang kentrungkeeeen…
Tipung suling…
Siiiii’grak kendanganeee…
Sepanjang perjalan pulang hingga sampai ke pintu gerbang
pendopo kabupaten Brebes Laksito merasakan ada hal aneh yang ia rasakan, setiap
orang yang berpapasan denganya tak menjawab sapaannya.
Rumput sudah Laksito tempatkan disebuah gubug kecil tempat
menyimpan pakan-pakan kuda.
Sambil berjalan menuju Bi Ojah yang Nampak sedang sibuk di
dapur Laksito menyipas-ipaskan ikat kepalanya yang sudah terlepas kearah mukanya,
sambil dahinya mengernyit-ngernyit tak tahan menadah sinar matahari yang jatuh
dimukanya.
“Bii…. Masak apa? Lapar aku Bii…” Teriak Laksito sambil
tanganya dengan cekatan menyambar mendoan tempe yang masih ditiriskan dari
minyaknya.
Alih-alih menjawab pertanyaan Laksito Bi Ojah terperanjak
sampai abu dari pawon (tungku : Ind) yang sedang Bi Ojah tiup-tiup
dengan selongsong bambu menyembur buyar beterbangan tak karuan “Duh Gusti…
Gusti… Siapa itu….” Teriak Bi Ojah sambil mengusap-usap mukanya yang kini
berwarna putih penuh abu.
“Bi aku Sito Biii… aku disini bi disamping Bibi….” Sahut
Laksito sambil merengkuh tangan Bi Ojah yang sedang menodongkan selongsong
bambu entah maksudnya apa.
“Haaaahhh…. Kamu setan pasti…. Setan…setaaaannn…tolooongg
Gustiii…” Bi Ojah berteriak-teriak sambil meronta-ronta mencoba melepaskan
tanganya yang dipegang Laksito yang sudah kasat mata.
***
Mendengar suara gaduh dari belakang dapur Gusti Kanjeng
Bupati berlari keluar ke belakang menuju dapur.
“Tenang Bi Ojah… ada apa ini… ada apa ini….” Sambut
Gusti Bupati sambil menenangkan Bi Ojah yang terus berteriak-teriak dan
meronta-ronta.
“A..aaa…aaa…ampun Gusti… tadi ada suara tapi tak ada wujudnya
mengaku Laksito…itu Jin Gusti…Jin…” Tungkas Bi Ojah tergagap-gagap, sambil
matanya berkedip-kedip tanpa irama.
“To…Laksito… Cah Baguss… Cah Assigit… Apa benar sejatinya kau
memang Laksito…” Ucapanya tenang dan berwibawa.
“Iya Gusti ini hamba… Benar-benar hamba abdi kinasihmu
Laksito…”Suara tanpa wujud itu menyahuti pertanyaan Gusti Bupati.
“Kenapa kamu bisa seperti ini Laksito… ada apa gerangan…
Ceritakan Laksito?” Tanya Gusti Bupati seolah-olah sedang berhadapan
dengan sosok Laksito yang kasat mata.
“Hamba sendiri bingung Gusti… hanya tadi saya mengambil sisik
ular yang terlepas…” Papar Laksito yang kasat mata.
Bi Ojah, beberapa pelayan nampakcelingukan kadang menatap
keatas langit-langit dapur sambil mengusap kuduk-kuduknya, serba bingung dan
takut mereka dibuatnya.
“Baik Laksito… dimana kamu simpan sisik ular itu…? Gusti
Bupati melanjutkan interogasinya pada sosok Laksito yang kini seperti manusia
dalam gambaran syair “Padamu Jua” Karya Raja Penyair Amir Hamzah
: “Dimana engkau…, Rupa tiada…, Suara sayup…, Hanya kata merangkai hati
...
“Dikantong hamba Gusti….” Jawab Laksito.
“Baiklah sekarang coba kamu keluarkan sisik ular itu… Buang
jauh dari badanmu…” Saran Gusti Bupati, sambil jari telunjuknya memberi
aba-aba agar Laksito meletakanya diatas meja makan bundar yang ada di dapur.
Benarlah ketika sisik ular itu dikeluarkan dari kantong
laksito, dan ia taruh di meja sosok Laksito pun dapat terlihat lagi. Bi Ojah
berteriak kegirangan usai sudah rasa takutnya, kalau benar-benar Laksito sampai
hilang dan menjadi manusia tanpa wujud, pastilah ia akan sangat berduka dan
sedih.
“To…. Laksito… ya ampun Nang… ” Sambut Bi Ojah sambil
menepuk-nepuk punggung Laksito.
***
Rasa senang dan bahagia Bi Ojah, Laksito dan beberapa abdi
yang juga teman Laksito, hanyaberlangsung sebentar, tragedibesar segera
terjadi. Gusti Bupati yang melihat bahwa sisik ular yang dibawa Laksito tanpa
sengaja itu bertuah, timbul hasrat Gusti Bupati untuk memilikinya.
“Ya Sudah to… sekarang aku yang simpan saja… sisik ular itu…
” Pinta Gusti Bupati sambil tanganya mengangsurkearah Laksito yang sedang
tersimpuh di depan Gusti Bupati.
“Mohon maaf Gusti… hamba tidak dapat memberikanya… itu amanat
besar dari Tuhan untuk saya… ” Jawab Laksito sambil memadukan kedua
telapak tanganya, menyembah menundukan kepalanya.
“Hmmmm …nanti aku naikan jabatanmu jadi carik-ku (Sekretaris
: Ind.)…” Rayu Gusti Bupati agar Laksito mau memberikan sisik ular itu.
“Mohon maaf… ini milik hamba karena hamba yang menemukan…,
Gusti amanat ini tak bisa dinilai dengan harga dan jabatan, ini amanat dari
Tuhan yang harus hamba jaga… Mohon maaf Gusti…” Laksito tetapkeukeuh
jumeukeuh dengan pendirianya bahwa amanat adalah harga mati yang harus
dijaga dengan baik.
“Buat apa… tidak ada gunanya kamu memilikinyaaa…
” Hardik Gusti Bupati sambil langkahnya merangsek kedepan menuju meja
tempat sisik ular itu tergeletak.
“Mohon maaf Gusti…. Hamba terpaksa melawan Gusti…
” Laksito bangun dari simpuhnya, serentak mereka kini saling bergelut
saling mendorong, tubuh mereka beradu beberapa kali hampir tangan Gusti Bupati
hampir menjangkau kulit itu, namun tenaga dan badan Laksito yang lebih besar
tak cukup sebanding dengan badan ceking Gustinya, didorongnya Gusti Bupati
hingga terjerembab terhempas beberap senti ambruk ke lantai. Secepat kilat
tangan laksito mengambil sisik ular yang terseak-seok tertiup angin, dan
dimasukanya benda itu kedalam mulutnya.
Bermaksud hanya untuk menyembunyikanya saja
tapi, “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih” tanpa
sengaja sisik ular itu tertelan.
***
Perlahan-lahan sedikit demi sedikit tubuh Laksitohilang raib.
“Maafkan hamba Gusti…. Maaf beribu maaf karena sudah berani
melawan Gusti” Sebelum tubuh laksito benar-benar raib, nanar mata Laksito
dan kata maafnya masih sempat jatuh dari bibirnya.
Dengan emosi yang masih bergulung
didadanya, tertahan Gusti Bupati terbangun, sambil membenarkan letak
ikat kepalanya yang sudah acak-acakan, tak kuasa menahan rasa amarah, kecewa,
dan penyesalan yang kini mengecamuk didalam batinya.
Nafas Bupati masih terengah-engah sementara tangis Bi Ojah
pecah mengiringi sosok Laksito yang kini raib ditelinga bumi musnah menjadi
udara, Laksito pemuda yang sudah dianggap Bi Ojah seperti anaknya sendiri, rasa
kehilanganyang teramat sangat Bi ojah rasakan.
“Toooo… Laksitooo…Aduuhh… aduuhh… ” Bi Ojah
memanggil-manggil nama Laksito air matanya jatuh dilantai tanah lembab,di
dapur.
Sementara Gusti bupati melangkah gontai perlahan, air matanya
terbendung diantara kelopak matanya, nanar, berkaca-kaca tangan
kananya memagang pinggangnya sementara tangan kirinya meregang dan menjulur
kedepan.
“Tooo… Bocah Bagus… Maafkan Gustimu ini yang khilaf, gelap
mata. Gelap hati oleh nafsu dan hasrat, sisik itu memanglah menjadi hakmu bukan
hak-ku…” airmatanya kini menetes, lalu menyambung kata-katanya
lagi.“Menyesal aku to… Menyesal… coba kalau aku tidak memaksa…pasti tak akan
seperti ini kejadianya… kamu masih disini bersama kami….”
“Hamba memaafkanmu gusti…. Mungkin ini sudah menjadi nasibku…
Tapi izinkanlah hamba terus mengabdi disini selamanya Gusti… ” jawab
Laksito suaranya bergetar berat dan melirih.
“Baiklah… Laksitowujudmu sekarang sudah tidak ada, permintaan
dan perintahku jika kamu ingin mengabdi selamanya disini tolonglah jaga
rakyatku yaitu rakyat Brebes… dan karena kamu masih perjaka dan menelan sisik
ula poleng (Ular Belang : Ind.) maka namamu aku ganti menjadi Jaka Poleng…”
Begitulah, konon Ula Poleng bermahkota emas itu
salah satu abdi Hyang Anantaboga Dewa dari bangsa ular yang turun ke bumi,
siapapun yang sudah terjamas untuk melihat proses pergantian kulitnya akan
mendapatkan berkah dari sisiknya yang bertuah, konon sisik itu merupakan
jembatan penghubung dua dunia yaitu dunia gaib dan dunia nyata, jadi siapapun
pemilik sisik itu secara langsung bisa hidup dalam dua dunia, salah satu
kelebihan lainya ialah pemilik sisik tersebut secara langsung memiliki ajian
upasanta yaitu lidahnya berbisa jadi makhluk hidup apapun yang dijilatnya bisa
menemui ajal, serta mampu berjalan diatas sungai dan samudera.
Sampai saat ini masyarakat Brebes beranggapan Ki Jaka Poleng
masih hidup, beberapa orang yang pernah melihat penampaka Ki Jaka Poleng dalam
wujud satria gagah berwajah manusia berbadan ular, mitos masyarakat di pesisir
Kali Pemali berkembang bahwa sebelum banjir datang Ular Jaka Poleng membendung
hulu sungai pemali kala sore sebelum banjir datang, agar sapi yang digembalakan
dihutan dan orang-orang yang bekerja disebrang kali pemali bisa pulang dengan
selamat.
Inilah legenda dari Brebes kisahnya turun
temurun diceritakan dari waktu ke waktu, meski tak ada bukti autentik seperti
Batu Malin Kundang tetapi kisah ini banyak mengandung ibrah dan tauladan
lainya, bahwa amanat itu sangat berharga dan tak ternilai, bahwa kekerasan dan
pemaksaaan kehendak akan selalu berakhir dengan keburukan. Kebanyakan orang tua
di daerah Brebes akan melarang anaknya memegang sisik ular, takut akan bernasib
sama seperti Kisah diatas, seperti penulis yang mendapat cerita legenda ini
dari orang tuanya saat bertanya kenapa kita tidak diizinkan memungut sisik
ular? Diceritakanlah Legenda Brebes : “Jaka Poleng”, selain alasan kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar